Penyebar Islam Pertama Di Ponorogo
Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak laen adalah putera Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan Kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikuti jejaknya, untuk berguru dibawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi istrinya.
Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Bataro Katong masa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).
Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di Islamkan, tetapi perkawinannya dengan Putri Cempa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Makapahit. Diperistrinya Putri Cempa oleh Prabu Brawijaya memunculkan reaksi protes dari elit istana yang laen. Sebagai mana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali. Tokoh yang terakhir ini, kemudian desersi untuk keluar dari Majapahit,dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai Lereng Barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryongalam ini kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.
Ki Ageng Kutu lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan,yang kemudian disebut REOG. Dan Reog tidak laen merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap Raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau) yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering disebut Bujang Ganong yang bijaksana walaupun berwajah buruk.
Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kesultanan Demak, yang notabene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Ki Ageng Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.
Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya, yakni yang dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang laen.
Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.
Singkat cerita, terjadilah petarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama-sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan KiAgeng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan diiming imingi akan dijadikan istri.
Kemudian Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat wage disebuah pegunungan di daerah Wringin Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh pengikut Ki Ageng Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo.
Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak didaerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan mokso dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu. Setelah dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak laen adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa dan Batoro. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo,mendirikan istana, dan pusat kota,dan kemudian islamisasi Ponorogo perlahan namun pasti.
Pada tahun 1486,hutan dibabat atas perintah Batoro Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makluk halus yang datang. Namun, karena bantuan Warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itupun lancar.
Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian pendudukpun berdatangan. Setelah menjadi istana kadipaten, Batoro Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya Suromenggolo, tetap ditempatnya yakni di dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga" menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti wasis, pinter, mumpuni dan Rogo artinya jasmani. Sehingga dikenal dengan nama Ponorogo.
Comments
Post a Comment